Sunday, May 10, 2015



Cerita... aku suka itu cerita tapi aku tak pernah tahu apa arti cerita itu, bingung aku harus mengawali kata apa yang sepantasnya aku simpan didepan kalimat ini. “Arrragggghh bingung” kali ini aku akan membuat cerita tentang apa.

Sore ini aku berdiri ditepi danau “Situ Cilembun” tempat yang ku jadikan sebuah penampung segala rasa gundah, bimbang, sedih dan bahagia. Entah apa yang aku rasakan, tapi resah yang saat ini aku rasakan. Aku merenung dan menunggu senja datang. Menunggu agar senja mendengar curhatanku, yang mampu melukis ceritaku dengan warna orange bertinta rasa kekuasaan, menakuti jiwa dalam diri yang lama membuatku teringat tentang masa lalu, ketakutan datang melanda dalam jiwa yang rapuh. Rumput-rumput tertiup angin bergerak penuh tanya dalam kesendirianku disini, yang membuat benakku tak bisa menghapus kisah masa laluku dulu. Seakan-akan waktu tak mendukungku untuk melupakannya, resah yang tak bertepi ini membuatku tak bisa bangkit dari keterpurukan.

Aku berdiri dibawah pohon palem dan melihat pantulan senja nan indah dalam air yang jernih, ditemani dengan angin yang membelai mesra suasana, senja yang yang tercampur dengan warna orange bias-bias jingga. Adanya disini membuatku terseret jauh dengan arus yang tersembunyi “senja...dengarlah aku, aku ingin menumpahkan resahku disini, bantu aku senja, bantu aku...wahai dzat penggenggam jiwa, jiwa-jiwa yang resah pergilah dalam rasaku ini dan jiwa-jiwa yang bahagia masuklah dalam rasaku yang kian dipenuhi dengan rasa resah ini” teriakku pada alam ini. Air terlihat marah dan menghantam segala yang disinggahinya, angin terasa beribut akan menjatuhkan pepohonan yang ada disekitar danau. Aku senang alam mendengar curhatanku ini, sehingga air dan angin beribut terlihat marah ketika aku menjerit,menuaikan segala resahku. Seketika terasa angin sepoy hembuskan kerinduan pada sang ayah. Aku berdiri diantara sayup-sayup senja mencari ketenangan dan kedamaian yang sesungguhnya. Tetes keindahan senja memberiku suatu harapan, hingga mataku terpejam membayangkan apa yang ku harapkan. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang dan aku menolehnya ternyata dia Mutia temanku “aah rupanya kamu, mengagetkanku saja” sambil menolehnya “sedang apa kau disini?” tanya Mutia “aku sedang main becek-becekan ni :D” jawabku sambil cengengesan “Hah ga salah ini kan musim kemarau” tanya mutia lagi “enggalah Mut, aku sedang menuaikan keluh kesahku disini” jawabku terlihat lemas “kenapa tidak bilang sama aku, kan aku bisa menemani kamu disini” Mutia mendekatiku “sendiri lebih baik” jawabku singkat “oh ya sudah ayo kita pulang ini hampir magrib, sebentar lagi adzan akan berkumandang” ajak Mutia, lalu aku dan mutia pergi ke kosan kami berdua dan kami melaksanakan shalat magrib berjamaah dikamar, Mutia jadi imamnya. Sesudah melaksanakan shalat magrib ada yang mengetuk pintu “tok...tok...tok... Assalamu’alaikum” dan sepertinya aku mengenali suara itu, dan ternyata suara Titi sahabatku juga yang tinggal dikamar sebelah. Aku langsung bergegas membuka pintu “Walaikum salam, eh Titi, Nur ayo masuk” ku suruh mereka agar segera masuk dan aku pergi kedapur untuk membuatkan es teh manis dan membawa kue untuk mereka. Mereka pun tak sungkan-sungkan untuk masuk kedalam kamarku, karena mereka suadah terbiasa “Nih...Titi, Nur minum dan makan kuenya, hanya ini yang tersedia didapur kita” kataku sambil melihat ke muatia “Hehe...Maklum aja kita kan belum bisa cari duit” kata Mutia. “Iya, iya, haduh... jadi ngerepotin ini tuh” kata titi terlihat gelisah “Sudahlah jangan begitu, nanti ujung-ujungnya yang ada aja keluarin, iyakan” jawabku dan mereka (Muti, Titi dan Nur) tertawa, “Oh iya ya, kita kesini karena kita ada sesuatu untukmu” kata Nur sambil mengambil sesuatu dalam plastik hitam “Wah...apa itu?” tanyaku, terkejut “Ini” sambil menyodorkan buku kedepan wajahku “Waah...apa ini?” padahal aku tahu bahwa itu buku novel favoritku yang berjudul Gilalova Melihat Tanpa Mata. “Ini golok” kata Titi “Sembarangan aja, ini tuh buku bukan golok” jawabku, haya senyum-senyum tidak karuan “Lagian udah tahu itu buku malah ditanya” kata Nur tertawa puas.

Mereka tahu kalau Haya sedih tinggal dikasih Novel aja, pasti kesedihannya itu akan hilang oleh novel yang dibacanya itu. Malam terus memanggil bulan untuk memancarkan cahayanya pada alam ini, bintang kecil seakan-akan tersenyum melihat kebahagianku pada malam ini dan bintang seolah-olah ingin mengucapkan terimakasih pada senja dan sahabat-sahabatku yang sudah menjauhkan resah dan kerinduan ini pada malamku Mutia, Titi dan Nur menggelar tiker didepan teras dan mereka tertidur sambil melihat tingginya bintang dicampur gumpalan awan hitam yang diterangi cahaya bulan “Waah indah sekali malam ini” Nur sedang menikmati keindahannya ditemani musik yang berjudul Cinta Satukan Kita – Judika. Lalu aku menghampiri mereka dan berdiri disela-sela indahnya bintang “Aih...Aih... kamu berdiri disitu, sini ikut tiduran sama kita” ajak Titi, lalu aku berbaring tanpa menjawab ajakannya itu. “Lihat itu” sambil menunjuk bintang yang cerah dan besar.

“Iya aku melihatnya” jawabku jutek
“Kamu bagaikan bintang itu tuh” menunjuk lagi pada bintang yang tadi
“Kenapa Mut” jawabku aneh
“Kamu bagaikan bintang yang besar itu, bintang itu mampu menerangi bintang-bintang kecil yang sinarnya Cuma 5 watt”
“Haha...Macaceh? 5 watt kaya lampu aja”
“Iya Haya benar apa kata Mutia” sahut Nur yang sedang memainkan handphonenya
“Subhanallah...terimakasih teman-teman kalian sudah membuatku kagum pada malam ini”.

0 comments:

Post a Comment

Categories

Total Pageviews

About Me

My photo
Saya senang berbagi hal - hal yang sangat bermanfaat dan berguna, karna apabila ilmu tidak diamalkan bagai taman tak bebunga.

Popular Posts